Jakarta, Berita Indonesia -- Jenis serangan siber mulai bergeser dari ransomware ke cryptojacking. Tren ini menguat lantaran lebih menguntungkan bagi para penyerang.
Nilai mata uang kripto yang melejit pada tahun lalu menggiring para peretas menggunakan metode cryptojacking untuk meraup untung. Potensi keuntungan dan usaha yang dikeluarkan menjadi faktor pendukung.
"Dari sudut pandang hacker, cryptojacking ini lebih menguntungkan, jadi seperti pendapatan pasif saja," ucap Andris Masengi, Country Manager Symantec Indonesia, saat ditemui di Jakarta, Jumat (13/4).
Cryptojacking merupakan teknik menambang kripto dengan memanfaatkan sumber daya orang lain secara diam-diam. Pelaku menyebar skrip cryptojacking lewat berbagai situs.
Ketika pengguna membuka situs ini, maka diam-diam skrip ini akan menyedot kemampuan komputasi perangkat pengguna, entah itu laptop ataupun smartphone.
Perangkat korban itu secara sembunyi-sembunyi akan dipaksa bekerja keras untuk menambang uang kripto. Akibatnya, mesin cepat panas dan lambat memproses aplikasi.
"Kalau cuma satu aplikasi sudah lemot, sebaiknya segera cek task manager," imbuh Andris.
Serangan cryptojacking meningkat
Merujuk laporan Internet Security Threat Report Symantec Volume 23, serangan cryptojacking meningkat hingga 8.500 persen di seluruh dunia pada 2017 lalu.
Serangan cryptojacking yang melanda Indonesia menempati peringkat ke-23 secara global dan peringkat ke-5 di wilayah Asia Pasifik dan Jepang (APJ).
Director Systems and Engineering Symantec Malaysia & Indonesia David Rajoo mengatakan ancaman cryptojacking tak hanya dihadapi oleh individu tapi juga korporasi.
"Insentif keuntungan yang sangat besar membuat orang, perangkat, dan organisasi berisiko disusupi penambang koin ilegal yang akan menyedot sumber daya dari sistem mereka," jelas Rajoo.
Sementara tahun lalu ransomware seperti Petya melanda dunia, Symantec mengingatkan masyarakat dan perusahaan lebih waspada terhadap serangan cryptojacking ini. (eks)
0 komentar:
Posting Komentar