Jakarta, CNN Indonesia -- Janggut putih khasnya kini menghiasi tubuh yang tampak lebih kurus. Dia pun mesti diantar dengan kursi roda ketika berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Kamis (1/3).
Dia adalah Abu Bakar Ba'asyir, sosok terpidana terorisme yang telah mendekam sekitar dua tahun di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Selama berada di balik jeruji besi, kesehatan Ba'asyir terus menurun. Berdasarkan hasil pemeriksaan tim medis, Ba'asyir menderita CVI Bilateral atau kelainan pembuluh darah vena berkelanjutan.
Hal itu jadi salah satu alasan pihak Ba'asyir meminta penangguhan penahanan atau tahanan rumah kepada pemerintah, lewat Kementerian Hukum dan HAM.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun alias Ubed mengatakan Presiden Joko Widodo tak boleh gegabah mengambil keputusan terkait hal tersebut.
"Jokowi harus berpikir untuk menentukan solusi yang tepat dalam masalah Ba'asyir, karena masalah Ba'asyir pasti menjadi perhatian internasional," kata Ubed kepada CNNIndonesia.com, Minggu (4/3).
Ubed menjelaskan keputusan Jokowi kelak mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri.
Bila mengabulkan permintaan Ba'asyir menjadi tahanan rumah, kata Ubed, Jokowi bakal mendapat dukungan politik dari kelompok di bawah jaringan sosok yang diyakini sebagai pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah itu.
Selain itu Jokowi juga akan dinilai memiliki sikap kemanusiaan karena menjadikan Pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai tahanan rumah.
"Jokowi akan mendapat keuntungan dukungan politik dari kelompok Islam di bawah jaringan Ba'asyir. Dengan cara itu Jokowi dinilai memiliki sikap kemanusiaan," kata Ubed.
Meskipun demikian, dampak negatif juga akan muncul ketika Jokowi menjadikan pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min Ngruki, Solo, sebagai tahanan rumah.
Ubed menyebut mantan Gubernur DKI Jakarta itu bisa menjadi sorotan dunia internasional lantaran memberikan kelonggaran kepada kalangan radikal.
"Ini tentu akan mengundang tanda tanya besar dunia internasional yang bisa berdampak pada keraguan investasi dari pihak asing," kata dia.
Ba'asyir dianggap memiliki kaitan dengan sejumlah aksi teror yang dilakukan di Indonesia. Pria berusia 79 tahun itu dinilai terlibat dalam aksi bom bunuh diri pada bom Bali 1 dan bom di Hotel JW Marriott.
Memutus Dendam
Pada 2005 lalu, Ba'asyir divonis dua tahun enam bulan penjara karena dinilai terbukti terlibat dalam dua rangkaian serangan bom bunuh diri oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun, dalam Peninjauan Kembali yang diajukan Ba'asyir ke Mahkamah Agung, hakim memutuskan dengan suara bulat dia tak terbukti terlibat dalam bom Bali 1 dan Hotel JW Marriott, Jakarta.
Selang beberapa tahun kemudian, pada 2011, Ba'asyir kembali menerima vonis 15 tahun penjara dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, Ba'asyir terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di pegunungan Jantho, Aceh, pada 2010.
Meskipun dinilai terlibat dalam aksi teror dan menyandang dana kelompok bersenjata, pengamat terorisme sekaligus peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mendukung Jokowi mengabulkan permohonan Ba'asyir sebagai tahanan rumah.
Khairul mengatakan keputusan Jokowi memberikan status tahanan rumah kepada Ba'asyir nantinya diharapkan dapat memutus mata rantai dendam antara pelaku dan korban aksi bom bunuh diri.
Di sisi lain, jika Jokowi menolak permohonan tahanan rumah Ba'asyir, sentimen negatif pada pemerintahan Jokowi bisa semakin buruk, kata Khairul.
"Terorisme ini lebih banyak dipicu oleh kebencian, dendam. Dengan misalnya Jokowi menolak, itu berpotensi memperkuat dendam, mewariskan dendam," kata dia.
Selain memutus dendam, mengabulkan permohonan tahanan rumah Ba'asyir juga dinilai akan memberikan keuntungan politik bagi mantan wali kota Solo yang akan maju kembali pada Pilpres 2019.
"Saya kira walaupun tidak terlalu signifikan karena yang nyinyir pasti tetap ada ya, tapi saya pikir itu penting dilakukan Jokowi," ujar Khairul.
Menurutnya, permohonan Ba'asyir menjadi tahanan rumah bakal terganjal lantaran pria yang juga pernah diseret ke meja hijau pada era Orde Baru itu tak mau mengajukan grasi.
Lewat kuasa hukumnya, Ba'asyir enggan mengajukan grasi lantaran merasa tak bersalah sebagaimana tuduhan pemerintah.
Meskipun demikian, lanjut Khairul, Jokowi tak perlu ragu bila ingin mengabulkan permohonan Ba'asyir menjadi tahanan rumah dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
"Artinya itu tidak boleh menyurutkan langkah pemerintah mempertimbangkan perawatan dengan alasan kemanusiaan," kata dia.
0 komentar:
Posting Komentar