Mengenal Koopssusgab, Satuan Elit Antiteror Indonesia


Jakarta, Berita Indonesia -- Penghidupan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI digagas Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko untuk membantu Polri melawan terorisme yang sedang marak terjadi di Indonesia. Koopssusgab dinilai mampu menambah kekuatan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dalam menanggulangi teror.

Jika usulan Moeldoko diterima, Indonesia akan memiliki dua satuan khusus penanggulangan terorisme. Di bawah komando Polri, Densus 88 dan di bawah komando TNI, Koopssusgab.

Moeldoko menyebut pasukan ini perlu dihidupkan kembali, pasalnya persoalan terorisme masuk dalam ranah ancaman yang faktual. Dia menganggap masalah terorisme menjadi ancaman yang memerlukan penanganan khusus.

Semasa menjabat sebagai Panglima TNI, Moeldoko meresmikan Koopsusgab pada 9 Juni 2015 lalu. Sempat dibekukan, konsep utama pembentukan komando tersebut adalah pasukan yang dapat merespon situasi genting terorisme secara cepat. Dalam artian Koopssusgab adalah pasukan khusus anti teror yang bersifat pasukan paramiliter atau stand by forces sehingga bisa dimobilisasi kapan pun.


Komandan pasukan khusus setiap matra TNI akan mendapat giliran untuk memimpin Koopssusgab. Kursi kepemimpinan akan berganti setiap enam bulan. Enam bulan pertama Koopssusgab dipimpin oleh Danjen Kopassus (AD). Lalu enam bulan kedua Dankomarinir (AL). Kemudian enam bulan selanjutnya dipimpin Dankorpaskhas (AU), begitu seterusnya.

Koopssusgab terdiri atas personel gabungan terbaik dari tiga matra TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Komando adalah gabungan pasukan khusus dari Satuan 81 Gultor Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat, Detasemen Jala Mengkara Angkatan Laut, dan Satuan Bravo 90 Korps Pasukan Khas Angkatan Udara. 

Prestasi ketiga pasukan khusus juga mengkilap dalam urusan menangani terorisme. Pasukan tersebut terdiri atas 90 prajurit yang dilatih khusus untuk menanggulangi teror. 90 prajurit khusus ini merupakan pasukan pilihan dari satuan pasukan khusus.

Artinya personel Koopssusgab adalah pasukan elit yang terpilih dari jajaran elit. Jumlah personel yang sedikittidak memungkinkan Koopssusgab untuk melakukan perang terbuka. Oleh karena itu Koopssugab khusus dikerahkan untuk operasi skala kecil dengan misi khusus. Biasanya berhubungan dengan misi sabotase atau penyelamatan. Dalam urusan penyergapan teroris atau operasi skala besar, biasanya pasukan khusus tergabung dalam Satuan Tugas.

Pasukan khusus pertama dalam Koopssusgab antara lain Satuan 81 Gultor. Satuan ini berasal dari lingkungan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Satuan 81 memiliki spesialisasi dalam penanggulangan terorisme. Seorang personel Satuan 81 memiliki keahlian setara dengan delapan personel TNI biasa. 

Cikal bakal pasukan khusus ini berasal dari pasukan yang yang bertugas dalam operasi Woyla pada 1981, membebaskan penumpang pesawat Garuda Indonesia di Thailand. Komandan pertama Sat-81 adalah Luhut Binsar Panjaitan dan wakilnya adalah Prabowo Subianto.

Prestasi yang berhasil ditorehkan Satuan 81 adalah keberhasilan Operasi Mapenduma, yakni operasi pembebasan 26 sandera yang ditawan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pimpinan Kelly Kwalik di Irian Jaya pada 15 Mei 1996. Operasi terbaru yang melibatkan Satuan 81 adalah penggerebekan Gembong Teroris Bom Bali, Noordin M Top.

Pasukan khusus kedua adalah Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) merupakan pasukan elit di bawah TNI Angkatan Laut. Anggotanya merupakan personel pilihan dari satuan pasukan khusus, yakni Komando Pasukan Katak (Kopaska) dan Intai Amfibi Marinir (Taifib). Konon keahlian satu prajurit Denjaka disetarakan dengan 120 orang prajurit TNI biasa.

Beberapa prestasi operasi anti teror berhasil ditorehkan oleh Denjaka, seperti pembebasan kapal Sinal Kudus yang dibajak oleh perompak Somalia pada 2011 dan Pembebasan WNI yang disandera oleh Kelompok Abu Sayyaf. Denjaka juga terlibat dalam operasi Search and Rescue (SAR) AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata.


Pasukan khusus ketiga adalah Satuan Bravo 90 atau Satbravo-90 merupakan detasemen khusus di bawah komando TNI Angkatan Udara. Satbravo-90 memiliki spesialisasi dalam penanggulangan teror aspek udara. Konon keahlian seorang personel Satbravo-90 setara dengan lima personel TNI biasa.

Sama dengan pasukan khusus TNI lainnya, Satuan Bravo juga sudah terasah dalam operasi antiteror. Sebut saja misi pengamanan Konferensi Tingkat Tinggi di Jakarta, Misi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Cina dan terlibat dalam konflik Ambon. Selain itu, Satbravo-90 juga terlibat dalam pengamanan bandara Komoro dalam misi Geser Timor-Timor sebagai buntut lepasnya Timor-Timor dari Indonesia. Dalam konflik di Aceh, Sat-Bravo ditugasi untuk mengamankan seluruh bandara dan landasan udara di Aceh.

Penuh Kontroversi
Rencana menghidupkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI mencuat setelah rentetan serangan bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur. Menurut Moeldoko rencana penghidupan kembali Koopssusgab sudah diberi lampu hijau oleh Joko Widodo.

"Untuk komando operasi khusus gabungan TNI, sudah direstui oleh presiden dan diresmikan kembali oleh Panglima TNI," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (16/5)

Akan tetapi keterlibatan TNI dalam melawan terorisme menimbulkan polemik. Di satu sisi ada pihak yang mendukung rencana itu asal dengan aturan ketat, tetapi yang lain tidak sepakat dan meminta pemerintah menyelesaikan proses revisi undang-undang pemberantasan terorisme.

Selain itu mengingat pasca-Reformasi TNI hanya berwenang menjaga pertahanan negara, sedangkan keamanan menjadi tanggung jawab kepolisian. Apalagi belum ada payung hukum yang jelas terkait dengan keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Belum lagi, banyak pihak khususnya anggota parlemen menduga akan adanya pelanggaran HAM apabila TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme.

Oleh karena itu Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyatakan perlu ada payung hukum, dalam hal ini Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Saat ini UU tersebut dalam proses revisi, definisi terorisme diperketat agar aparat hukum tidak salah tangkap orang yang tidak berasosiasi dengan jaringan teroris.

"Payung hukum yang cukup supaya tidak menghadirkan kesimpangsiuran dan atau penggunaan wewenang yang berlebihan sehingga akan menghadirkan problem bagaimana terkait pemberantasan terorisme," kata Hidayat di Kantor Wakil Ketua MPR, Kamis (17/5).


Menanggapi pernyataan dari Moeldoko mengenai restu dari Jokowi, anggota RUU Terorisme dari Fraksi PPP Arsul Sani meminta pembentukan Komando Khusus Operasi Gabungan (Koopsusgab) TNI ditunda hingga RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disetujui.

"Soal pembentukan Koopsusgab tersebut sebaiknya dibicarakan setelah Revisi UU Terorisme disetujui," ujar Arsul dalam pesan singkat, Kamis (17/5). ANGKA SAKRAL
Share on Google Plus

About BERITA INDONESIA

0 komentar:

Posting Komentar