Buah Manis Mengadu Nasib Jadi Buruh di Negeri Orang


Jakarta, Berita Indonesia -- Di tengah ketakutan serbuan pekerja asing di Tanah Air akibat kemudahan proses perizinan yang diberikan Peraturan Presiden (Perpres) Tenaga Kerja Asing (TKA), jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah sejak lama mengadu nasib ke negeri orang. Ada yang memiliki kisah pilu, tetapi banyak juga yang sukses dan memiliki kisah bahagia. 

WR Daswanto (50), pria asal Surabaya sudah lebih dari 20 tahun mengadu peruntungan di Negeri Sakura. Memulai pekerjaan sebagai pekerja konstruksi pada 1992, ia kini memiliki usaha sendiri di negeri sakura tersebut dengan pendapatan 10-12 juta Yen Jepang atau sekitar Rp1,27 miliar hingga Rp1,52 miliar (kurs Rp127 per Yen Jepang). 

Sebelum memutuskan bekerja di Jepang, ia pernah mencoba peruntungan bekerja di Hong Kong dan Taiwan. Namun, nasib tak berpihak padanya. 

Daswanto bercerita, pendapatannya  bekerja di Jepang jauh lebih besar  dibanding bekerja di dalam negeri. Kala itu, ia mampu mengantongi sekitar 200 ribu hingga 250 ribu Yen Jepang. Jika mengacu kurs saat ini, pendapatannya mencapai sekitar Rp25 juta.

Delapan tahun bekerja sebagai pekerja konstruksi, ia pun kemudian memutuskan untuk merintis bisnis di bidang industri konstruksi, khususnya untuk pembangkit listrik dan perkapalan. Perusahaannya bernama Heiwa Kogyu.

"Usaha yang saya jalankan meliputi maintanance dan produksi, kalau maintanance itu lebih di bagian pembangkit tenaga listrik seperti pasang penopang baja atau instalansi turbin, kalau produksi itu di pembuatan kapal," terang Daswanto.

Saat ini, ia masih menetap di Nagoya bersama istrinya. Kedua anaknya sedang menempuh studi di negera lain, sedangkan dua anak terakhirnya sekolah di Indonesia. Walau sudah mengantongi status permanent residance di Jepang, ia kerap pulang kampung ke Indonesia setahun sekali untuk menemui sanak keluarganya.

Keputusan untuk merantau di negeri orang juga ditempuh Jay Wijayanti (35). Ibu rumah tangga asal Magetan ini sempat menjadi perawat di Taiwan sejak 1999. 

"Saat itu karena ada krisis moneter, saya memutuskan untuk bisa mandiri dan membuatkan rumah untuk keluarga, itu poin utama saya," ungkap Jay. 

Jay memulai pekerjaan pertamanya di Taiwan sebagai perawat orang tua jompo di kota Kaohsiung. Jay juga menerima pekerjaan untuk menjaga bayi, anak, anjing sampai menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Dari pekerjaannya sebagai perawat tersebut, Jay mampu memperoleh penghasilan kotor Rp4-5 juta per bulan. Seiring waktu, pendapatannya meningkat menjadi Rp7-8 juta per bulan. Sedikit demi sedikit, Jay pun mampu membangun rumahnya di Tanah Air. 

"Tahun 2003 mulai bangun fondasi, terus ke bagian atas pas tahun 2007, lalu akhirnya selesai pada tahun 2014," kata Jay. 

Selain membangun rumah, hasil pendapatannya sebagai TKI juga ia gunakan untuk membiayai sekolah-sekolah adiknya. 

"Saya pejuang dalam sebuah keluarga, saya ingin menaikkan derajat dan ekonomi serta membuat rumah dari jerih payah sendiri," ungkapnya. 

Tahun 2009, Jay mulai mempublikasikan karya-karya seninya. Berbekal sebuah laptop yang ia beli dari tabungan gaji, Jay mulai menulis puisi dan berbagai kisah tentang TKW di Taiwan. Ia lalu membukukan karyanya dalam sebuah buku.

Jay mengungkapkan beberapa keuntungan menjadi TKI di Taiwan. Dari segi ekonomi, Jak mengaku penghasilannya jauh lebih tinggi dibanding jika bekerja di dalam negeri. Ia pun memiliki kemampua untuk menabung dan membantu keluarga. Selain masalah ekonomi, ia juga mengaku mengantongi pengalaman yang tidak ternilai harganya dan bisa menjadikan dirinya sebagai pribadi yang lebih mandiri dan tangguh.

Saat ini Jay membangun bisnis keripik tempe yang dijual secara online. Saat ini, keripik tempe Jay sudah tersebar di 92 kota di Indonesia, bahkan sampai ke Taiwan.

Tak Ada Celah di Negeri Sendiri

Selain penghasilan yang lebih menggiurkan di luar negeri, minimnya kesempatan kerja di negeri sendiri menjadi alasan bagi TKI untuk merantau ke negeri orang. Isna Ariyanti (45) akhirnya memutuskan untuk bekerja di Singapura sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) pada 2007 karena kesulitan mencari pekerjaan di dalam negeri. 

Sebelum bekerja di Negeri Jiran, ia mengaku hanya bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan yang tak menentu. Padahal, suaminya baru meninggal dunia, sehingga ia harus menghidupi kedua anaknya yang sedang duduk di bangun Sekolah Dasar (SD). 

"Waktu itu buruh cuci dapatnya paling hanya Rp20 ribu per hari, itu tidak cukup untuk bayar keperluan sehari-hari, untuk anak sekolah," ungkapnya.

Demi memperbaiki nasib, Isna pun mengadu peruntungan setelah memperoleh informasi dari sang tetangga tentang agen penyaluran TKI. Setelah mendapat pelatihan bahasa secara singkat dari agen, Isna pun terbang ke Singapura. 

Pada tahun pertama, ia mengaku sedikit kesulitan lantaran kendala bahasa untuk berkomunikasi dengan majikannya. Namun, tak seperti banyak pemberitaan soal kerasnya sikap majikan di luar negeri, Isna mengaku justru mendapat perlakuan baik. 

Belum lagi, saat itu ia mendapat libur  sehari dalam sepekan. Beberapa kebutuhannya juga ditanggung oleh majikannya. "Gajinya boleh dibilang lebih baik dari kebanyakan pembantu di Indonesia, sekitar S$600-700 mungkin hampir Rp4-5 juta ya saat itu," katanya. 

Gaji yang diperoleh Isna pun terus meningkat hingga mencapai Rp6,5 juta per bulan. Gaji yang ditabungnya itu berhasil membuat kedua anaknya sekolah hingga mengenyam pendidikan diploma.

Dua tahun lalu, Isna memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Ia memilih untuk membuka toko kelontong di depan rumahnya di Purwokerto, Jawa Tengah dan mengurus rumah kos-kosan yang dibangunnya dari hasil jerih payah selama bekerja sebagai TKI selama 9 tahun.

Senasib dengan Isna, Luki Nasrudin (27) juga merasa peruntungan di luar negeri lebih terbuka dibandingkan di Indonesia. Mengantongi ijazah diploma kesekretariatan dan administrasi pada pada 2012, tak membuat nasibnya lebih baik mencari pekerjaan di Tanah Air. 

Menurut Luki, beberapa perusahaan tidak ingin menerima lulusan diploma dan hanya menerima lulusan sarjana. Namun, keterbatasan biaya membuatnya tak ingin membebani orang tua untuk kembali menempuh pendidikan. 

"Saya pernah buka usaha, karena sulit mendapat kerja, tapi usahanya tidak lancar. Akhirnya tutup," ucapnya. 

Setahun kemudian, ia menemukan tawaran pekerjaan sebagai operator telepon di Kuala Lumpur, Malaysia. "Waktu itu sedang mencari operator telepon yang bisa berbahasa Indonesia, akhirnya saya pikir daftar saja, ternyata diterima," ujarnya. 

Setelah mengurus izin kerja dan lainnya, Luki akhirnya memulai hidupnya di Malaysia. Kala itu, itu mendapat gaji 1.700-1.800 ringgit per bulan atau sekitar Rp6 juta. Pekerjaannya pun terbilang mudah. Ia hanya tinggal melayani pertanyaan dari pelanggan yang berbahasa Indonesia. 

"Kadang telepon banyak, tidak henti-hentinya masuk. Tapi kadang ada kalanya tidak banyak, jadi bisa lebih santai dan mengerjakan hal lain," katanya. 

Luki bahkan mampu memanfaatkan waktu dengan lebih produktif, dengan bekerja paruh waktu sebagai pendokumentasi menu makanan beberapa restoran. 

"Kebetulan rekan satu condominium saya bekerja sebagai tukang foto untuk menu makanan restoran atau display produk lainnya. Nah, saya sering bantu dia. Akhirnya, saya gabung jadi timnya dan kami berdua meneruskan usaha ini," ceritanya. 

Dari usaha itu, ia mengaku bisa mengantongi sekitar 400 ringgit sebagai tambahan masuk kantongnya.

Lihat Juga : Sengaja Ubah Kinerja Laba, BEI Bakal Sanksi Bank Bukopin

Saat ini, Luki mengaku dapat mengantongi sekitar 2.500-3.000 ringgit per bulan dari gajinya dan 500-600 ringgit dari usahanya. 

"Hasilnya saya tabung terus dalam lima tahun ini dan syukurnya bisa untuk belikan mobil untuk keluarga dan membantu biaya sekolah adik-adik saya," pungkasnya. (NDY)

Share on Google Plus

About BERITA INDONESIA

0 komentar:

Posting Komentar