Jakarta, Berita Indonesia -- Dua abad lamanya para pemimpin Korea Utara menanti pertemuan secara personal dengan presiden Amerika Serikat demi pengakuan posisi mereka di mata dunia. Ujung penantian itu kini di depan mata. Presiden Donald Trump bersedia bertemu dengan Kim Jong-un.
Para analis langsung memicingkan mata. Mereka khawatir staf pemerintahan Trump tak punya cukup pengalaman untuk mengubah momen politik yang sudah lama dinanti oleh Pyongyang ini menjadi kesempatan untuk membujuk Korut menghentikan program senjata nuklir.
Kekhawatiran ini muncul setelah delegasi Korea Selatan selaku penjembatan kedua negara mengatakan bahwa Trump langsung setuju bertemu dengan Kim Jong-un tanpa syarat ketika mereka menyampaikan undangan ke Gedung Putih pada Kamis (8/3).
Peneliti dari badan think tank New America, Suzanne DiMaggio, mengatakan bahwa pertemuan pertama sepanjang sejarah antara pemimpin AS dan Korut harus dipersiapkan dengan matang, setidaknya sudah ada kesepakatan konkret sebelum keduanya bertatap muka.
"Ini harus diatur secara hati-hati dengan persiapan matang. Jika tidak, semuanya akan berubah menjadi halangan, tak ada hasil. Sekarang, Kim Jong-un berhasil mengatur agenda dan tempo, dan pemerintahan Trump hanya memberikan reaksi. Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengubah dinamika ini," ucap DiMaggio.
Keraguan kian mengembang ketika para analis melihat jajaran pemerintahan Trump seakan tak kompak. Hanya beberapa jam sebelum rencana pertemuan ini diumumkan, Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, sendiri mengatakan, "Kita masih jauh dari negosiasi."
Trump memang memiliki sejumlah diplomat karier berpengalaman di direktorat Korea dan Asia Timur, tapi kebanyakan dari mereka hanya menduduki posisi tak tetap, sementara bangku penting lainnya kosong.
Joseph Yun, utusan AS untuk negosiasi dengan Korut, baru saja mengundurkan diri pada pekan lalu. Sementara itu, Trump belum menunjuk duta besar baru untuk Korsel.
Dengan nada khawatir, ahli Asia dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Bonnie Glaser, pun mengatakan, "Pertemuan Trump dengan Kim menghadirkan risiko dan kesempata. Pihak AS harus sangat sangat siap dan tahu pasti apa yang mau dicapai, juga apa yang akan mereka tawarkan sebagai gantinya."
Sementara itu, rencana pertemuan tersebut dianggap sebagai angin segar bagi Korut yang selama ini mencari pengakuan dunia, akibat yang selalu dihindari oleh pemimpin AS selama ini.
"Pertemuan ini adalah hadiah bagi Korut. Sebuah kebanggaan dapat bertemu dengan pemimpin negara paling kuat dan memimpin demokrasi," kata profesor kajian Korea Unversitas Nasional Pusan, Robert Kelly.
Melanjutkan pernyataannya, Kelly mengatakan, "Itulah alasan kita seharusnya tidak melakukan ini, kecuali kita mendapatkan janji bermakna dari Korut. Inilah alasan para presiden tidak melakukannya."
Para peneliti mengatakan bahwa jika pertemuan ini tak berhasil, kerugian bisa lebih besar dari sebelumnya. Korut menegaskan hak kepemilikan senjata nuklir, sementara Trump sudah terlanjur mengatakan dapat menggunakan serangan militer untuk menghancurkan alutsista tersebut.
Delegasi Korsel yang menemui Trump, Chung Eui-yong, memang mengklaim bahwa Kim Jong-un sudah "berkomitmen untuk denuklirisasi" dan menghentikan uji coba rudal. Namun, Korut belum memberikan bukti konkret.
"Belum ada sama sekali pertemuan AS-Korut, dan menggelar pertemuan setelah Korut benar-benar menunjukkan kepemilikan senjata nuklir mengirimkan sinyal bahwa AS mau bersepakat dengan Korut dengan kondisi itu," ucap Zhao Tong, ahli Korut dari Pusat Carnegie-Tsinghua, Beijing.
Zhao pun mengatakan, "Jadi, itu keuntungan pertama untuk Korut, walau pun tak ada perkembangan dalam diskusi mereka nantinya."
Membela diri, seorang pejabat pemerintahan Trump mengatakan bahwa Trump dipilih rakyat untuk melakukan pendekatan yang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya.
"Dia adalah seseorang yang benar-benar dapat membuat keputusan ketimbang mengulang masa lalu," tutur pejabat anonim itu kepada Reuters.
Sejarah perundingan kedua negara pertama kali terukir pada 2000, ketika Jo Myong Rok, tokoh terkemuka angkatan bersenjata Korut, bertemu dengan Presiden Bill Clinton di Gedung Putih.
Tak lama setelahnya, Menlu AS kala itu, Madeleine Albright, bertolak ke Korut untuk bertemu ayah dan pendahulu Kim Jong-un, Kim Jong-il, guna membahas landasan rencana pertemuan sang pemimpin tertinggi Korut dengan Clinton.
Saat Barack Obama menjabat, sejumlah pejabat Korut pun dilaporkan sempat menjajaki kemungkinan pertemuan dengan presiden kulit hitam pertama AS itu. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah.
"Korut sudah menyatakan hal seperti ini sebelumnya. Kim Jong-il bahkan mau bertemu dengan Clinton. Pyongyang harus serius mengenai denuklirisasi. Sementara itu, pemerintahan Trump harus tetap menggunakan sanksi berat untuk memberikan tekanan kuat sebelum pertemuan Mei nanti," kata CEO Yayasan Pertahanan Demokrasi Washington, Mark Dubowitz.
0 komentar:
Posting Komentar